Menyedihkannya Angkutan Umum di Bali


Liburan tahun baru ini secara tak sengaja saya menghabiskannya di Bali.  Tak sengaja karena berangkat dari rumah tanpa tujuan yang jelas.  Iseng-iseng mampir ke terminal di Jakarta dan voila...saya mendapat empat tiket tujuan Denpasar. Tanpa persiapan apa-apa kami berangkat sore itu dengan menumpang bus malam.  

Menyedihkannya Angkutan Umum di Bali

Berlagak sebagai sekelompok backpacker kami memulai petualangan kecil-kecilan (buat kami yang terbiasa ke Bali dengan pesawat melalui travel agen). Sebenarnya selama melintasi pulau Jawa tak ada yang terasa meresahkan.  Semuanya standar saja seperti layaknya pulang kampung dengan kendaraan pribadi.  

Tak ada kendala berarti yang kami dapati selain makan makanan seadanya di tempat-tempat persinggahan bus malam dan pemenuhan kebutuhan toilet yang sudah pasti mengerikan. Anak-anak saya yang terbiasa menyantap makanan buatan saya cukup tersiksa dengan kondisi ini. Entah karena cuaca, kondisi jalan atau apa ke Denpasar yang seharusnya 24 jam molor menjadi 36 jam.  

Tiba di Banyuwangi sudah larut malam.  Bus memasuki kapal.  Suasana kapal cukup menyenangkan, cuaca pun cerah.  Pukul dua dini hari kami tiba di Denpasar. Di Denpasar bus harus menurunkan seluruh penumpang di terminal Mengwi.  Terminal baru yang letaknya di pinggiran Denpasar.  Setelah diskusi dengan sang kenek, akhirnya kami dikenakan biaya sebesar Rp 140.000 agar bisa diturunkan di terminal Ubung, terminal lama. 

Tanpa membawa pengetahuan sedikit pun tentang Bali kami diturunkan di luar terminal Ubung. Dengan mata mengantuk kami berdiri di pinggir jalan. Belum sempat tanya angkutan umum yang berbaris di depan terminal, penumpang lain yang juga turun bersama kami minta diantar ke Kuta kepada seorang sopir angkot.  Tanpa saya duga sang sopir minta biaya sebesar Rp 250.000 untuk jarak sejauh kira-kira 14 km itu. Wah mahal sekali batin saya, mungkin karena di pagi buta. Kami tetap berdiri sambil mencoba menenangkan diri.  

Seorang perempuan muda dari daerah setempat menyapa. "Dari Jakarta ya?" tanyanya "Iya." jawab kami serempak. "Cari hotel murah ya." tanyanya lagi. Belum sempat kami jawab ia menunjukkan arah di mana hotel-hotel banyak bertebaran.  Kami pun mengucapkan banyak terima kasih.  Kami berjalan menyusuri pagi, menghampiri hotel demi hotel.  

Di hotel ketiga kami mendapatkan kamar hotel yang sangat nyaman.  Bersih dan cantik pula dengan harga yang cukup murah. Masuk ke kamar, kami segera bersih-bersih badan kemudian tidur. Matahari sudah lumayan tinggi ketika kami meninggalkan hotel.  Menyusuri jalan, kami memperhatikan angkot yang berseliweran di depan kami.  OMG ternyata angkotnya tidak memiliki jurusan seperti di Jakarta.  Beberapa angkot menawarkan kami dengan harga yang sangat ajaib.  

Ternyata bukan hanya semalam, penampilan kami sebagai turis benar-benar dimanfaatkan oleh mereka. Tak lama kemudian kami mendapatkan taksi yang bersedia menggunakan argo.  Benar saja dengan argo kami hanya harus membayar sebesar Rp 80.000 itu pun karena kami menemukan sedikit kemacetan.  Jadi, sepertiga dari harga yang diminta sopir angkot dan beberapa taksi lainnya. Sepanjang Legian kami telusuri santai sambil cuci mata.  

Turis-turis asing dari berbagai negara benar-benar memanjakan mata kami.  Penuh energi dengan gaya busana yang tentunya berbeda dengan turis lokal.  Dunia terasa begitu hidup di sini. Sebelum sore, kami telah mendapat penginapan yang  nyaman.  Kami kembali beristirahat. Legian di malam hari benar-benar menakjubkan.   

Segala kelelahan selama perjalanan seperti terbayar semua.  Makan malam yang gempita hingga dansa dansi yang menggelora benar-benar membuka mata di malam pertama kedatangan saya padahal selama ini beberapa kali ke Bali selalu berada di daerah yang sama. Namun ternyata datang di penghujung Desember itu beda sekali. 

Keesokan harinya kami berkeliling Bali dengan taksi yang kemarin kami sewa.  Dalam satu hari kami mengunjungi tempat-tempat wisata yang biasa dikunjungi wisatawan hingga diakhiri dengan makan malam di Jimbaran. Malam pergantian tahun baru di tengah hujan yang mengguyur Bali, kami berjalan-jalan menyusuri Legian yang semarak hingga sampai di pantai Kuta yang dipenuhi oleh wisatawan lokal. 

Pantai Kuta begitu padat oleh manusia.  Kami pun memutuskan kembali ke Legian. Sepanjang perjalanan kami melihat bagaimana taksi memalak para wisatawan asing.  Beberapa taksi menolak mengangkut mereka ke tempat-tempat tujuan mereka.  Menyedihkan sekali melihat kenyataan itu.  Di Bali transportasi bukan hanya mahal, tetapi juga sulit diperoleh.  

Apalagi di musim liburan seperti itu. Padahal Bali sebagai tujuan wisata nasional  dan internasional harusnya bisa memanjakan wisatawan dengan segala kemudahan. Tahun baru pun tiba, suara petasan kembang api mewarnai pergantian tahun.  Kami berharap dan berdoa semoga di masa yang akan datang Indonesia bisa menjadi lebih baik termasuk Bali :)


1 Response to "Menyedihkannya Angkutan Umum di Bali "

  1. Pengalaman dan cerita yang sangat menarik. Silakan kunjungi catatan saya mengenai bobroknya transportasi umum di Bali, yang menceritakan tentang terminal-terminal yang dikuasai preman.

    BalasHapus